Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah
Memakai pakaian berwarna merah termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Hal ini karena adanya hadits-hadits yang membolehkan dan di sisi lain ada hadits-hadits yang melarangnya. Oleh karena itu, kami sebutkan terlebih dahulu hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini.
Hadits-hadits tentang memakai pakaian berwarna merah
Hadits-hadits yang melarang
Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan memakai pakaian berwarna merah. Di antaranya adalah diceritakan dari Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: عَنْ لُبْسِ الحَرِيرِ، وَالدِّيبَاجِ، وَالقَسِّيِّ، وَالإِسْتَبْرَقِ، وَالمَيَاثِرِ الحُمْرِ
“ … Dan (Nabi) melarang tujuh perkara, yaitu memakai kain sutra, dibaj, qasiy (pakaian yang bercorak sutera), istabraq, mayatsir al-humr.” (HR. Bukhari no. 5849)
Al-Bukhari membawakan hadits ini dalam Kitaabul Libaas (kitab masalah pakaian), bab pakaian berwarna merah.
Ath-Thabari rahimahullah berkata menafsirkan “mayatsir al-humr”,
قال الطبرى: المثيرة: وطأ كان النساء يوطئه لأزواجهن من الأرجوان الأحمر على سروج خيلهم أو من الديباج والحرير، وكان ذلك من مراكب العجم
“Ath-Thabari mengatakan, “Al-mitsarah artinya alas yang biasanya para wanita dahulu meletakkannya pada pelana tunggangan suami mereka. Terbuat dari kain merah, atau terbuat dari kain dibaj (brokat) atau kain sutra. Ini berasal dari kebiasaan orang-orang ‘ajam (non Arab).” (Syarah Shahih Bukhari li Ibni Bathal, 9: 123)
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَعَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakai cincin emas, qasiy, dan mayatsir al-humr.” (HR. An-Nasa’i no. 5166, dinilai shahih oleh Al-Albani) .
Juga diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
نُهِيتُ عَنِ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ، وَخَاتَمِ الذَّهَبِ، وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ
“Saya dilarang untuk memakai pakaian berwarna merah, cincin emas, dan membaca Al-Qur’an ketika rukuk.” (HR. An-Nasa’i no. 5266 dan sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani).
Hadits-hadits yang membolehkan
Adapun hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya memakai pakaian berwarna merah di antaranya dari sahabat Al-Barra’ radhiyallahu ‘anu, beliau menceritakan,
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَحْسَنَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih bagus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengenakan baju berwarna merah” (HR. Bukhari no. 5901 dan Muslim no. 2337)
Juga dari sahabat Al-Barra’ radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek). Saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848).
Baca Juga: Pakaian Tampil Beda (Syuhroh)
Pendapat para ulama dalam menyikapi hadits tentang memakai pakaian berwarna merah
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits-hadits tersebut menjadi beberapa pendapat.
Pendapat pertama, menyatakan terlarangnya memakai pakaian berwarna merah secara mutlak, dalam rangka kehati-hatian dan memenangkan hadits-hadits yang berisi larangan memakai pakaian berwarna merah secara mutlak.
Pendapat kedua, menyatakan boleh memakai pakaian berwarna merah secara mutlak. Pendapat ini adalah kebalikan dari pendapat yang pertama.
Pendapat ketiga, menyatakan makruh memakai pakaian yang dicelup dengan warna merah secara penuh, namun jika warna merahnya itu ringan (tidak penuh), diperbolehkan. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.
Pendapat keempat, menyatakan makruh memakai pakaian merah secara mutlak jika bertujuan untuk perhiasan dan ketenaran. Namun boleh jika dipakai di dalam rumah atau di tempat kerja. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat yang dipilih oleh Imam Malik.
Pendapat kelima, larangan tersebut berlaku jika warna merah tersebut adalah warna merah murni (polos berwarna merah). Sehingga diperbolehkan jika terdapat garis-garis. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
كان بعض العلماء يلبس ثوبا مشبعا بالحمرة يزعم أنه يتبع السنة وهو غلط فإن الحلة الحمراء من برود اليمن والبرد لا يصبغ أحمر صرفا
“Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah. Padahal itu adalah sebuah kekeliruan. Karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan Yaman, sedangkan tenunan Yaman itu tidak berwarna merah polos.” (Fathul Bari, 10: 319)
Syaikh ‘Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah mengatakan, “Ini adalah pendapat yang dipilih oleh guru kami (yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah).”
Pendapat Ibnul Qayyim rahimahullah tersebut juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,
هذه الحلة الحمراء ليس معناها أنها كلها حمراء لكن معناها أن أعلامها حمر مثل ما تقول الشماغ أحمر وليس هو كله أحمر بل فيه بياض كثير لكن نقطه ووشمه الذي فيه أحمر كذلك الحلة الحمراء يعني أن أعلامها حمر أما أن يلبس الرجل أحمرا خالصا ليس فيه شيء من البياض فإن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك
“Kain berwarna merah yang Nabi pakai tidaklah berwarna merah polos. Akan tetapi, kain yang memiliki garis-garis berwarna merah. Hal ini sejenis dengan istilah “kain sorban merah”, padahal tidaklah seluruhnya berwarna merah polos, bahkan banyak memiliki warna putih. Disebut demikian karena titik dan coraknya didominasi oleh warna merah. Demikian pula sebutan “kain tenun berwarna merah” maksudnya kain yang memiliki garis-garis berwarna merah. Adapun seorang laki-laki yang memakai kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya sama sekali, itu adalah perkara yang dilarang oleh Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Maktabah Syamilah)
Pendapat keenam, larangan tersebut dimaknai sebagai makruh tanzih (dibolehkan). Dalil yang memalingkan larangan tersebut dari hukum haram adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memakai pakaian berwarna merah (sehingga menyelisihi larangan). Ini adalah kaidah yang sudah dikenal (dalam ushul fiqh). Yaitu, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan suatu perkara, kemudian beliau melakukan perkara kebalikannya atau meninggalkan perintah tersebut, maka perbuatan Nabi tersebut menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan. Adapun perintah Nabi tersebut menunjukkan hukum sunnah (tidak sampai derajat wajib, pent.), sedangkan larangan Nabi dimaknai sebagai larangan tanzih (tidak sampai derajat haram, pent.).
Dalil yang memalingkan larangan Nabi dari hukum haram menjadi larangan tanzih adalah perbuatan Nabi itu sendiri. Sebagaimana jika Nabi memerintahkan sesuatu, kemudian Nabi meninggalkan perintah tersebut, maka perbuatan Nabi yang meninggalkan perintah tersebut adalah dalil bahwa perintah tersebut hukumnya sunnah (tidak sampai derajat wajib, pent.). Sedangkan perbuatan Nabi menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut.
Kesimpulan
Setelah menyebutkan pendapat para ulama tersebut, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah mengatakan,
“Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang kelima dan keenam. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi”.
Meskipun demikian, dalam rangka kehati-hatian, agar seorang laki-laki tidak memakai pakaian berwarna merah polos dalam rangka keluar dari khilaf (perselisihan para ulama). Andaikan ingin memakai pakaian yang berwarna merah, hendaknya pakaian tersebut memiliki garis-garis dan tidak polos. Wallahu Ta’ala a’alam.
[Selesai]
Baca Juga:
- Adab-Adab Berpakaian Bagi Muslim Dan Muslimah
- Pakaian yang Utama Adalah Mengikuti Kebiasaan Masyarakat
—
Referensi:
Taqyiidusy Syawaarid minal Qawaa’id wal Fawaaid, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rajihi, hal. 390-392.
—
@Kantor YPIA, 23 Syawal 1441/ 15 Juni 2020
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/57393-hukum-memakai-pakaian-berwarna-merah.html